Sunday 3 August 2008

Air Mata di Wajah Kesedihan Irak-Lami'ah Abbas Amarah

Air Mata di Wajah Kesedihan Irak
(Lami'ah Abbas Amarah - Irak)

Di dada Irak, ku rebahkan kepalaku dan berlinanglah air mata
hatinya memikul duka cita yang sama seperti hatiku
ia membelai dan menenangkanku; aku pun terlelap tidur
seperti anak sungai kesedihan, yang dijalin antara
jiwa dan rintihan kami, atau bahkan kebisuan kami.
O, ratapan hati,
O, mata yang terindah.
Aku sudah pernah menyaksikan
apa yang telah mempersatukan kami?
kekejaman dari peperangan ini?
Atau nafsu karena cinta?
O, Wajah sedih dari tanah tumpah darah ku
air mata apa, cinta apa yang dapat menghapus wajah sedih itu?
O, keluargaku, sekarang hanya teror mengisi rasa lapar mereka,
dan dahaga mereka.
O, kepanikan dan kebangkitan.
Adakah jalan yang tak membawa
mereka kepada kehancuran dan neraka.
Adakah tempat perlindungan bagi mereka?
Di masa apa kami ini hidup? Masa barbarisme?
atau masa peradaban,
yang dipermalukan oleh perbuatan-perbuatannya di Amiriyyah?
Ini adalah kemurungan dari ksatria yang terkalahkan,
tangannya menjadi lumpuh tak berdaya,
dahinya memikul bagian terberat dari kehancuran
semua kesedihan menyemburat di pohon-pohon kurma,
semua lagu ratapan mengalun dari Selatan,
semua gema-gema menyuarakan rintihan
O, pohon-pohon kurma dari Samawah
berapa banyak kekejaman yang masih ada di dunia ini?
tujuh puluh ribu anak-anak, manis seperti biji
- Tidak, bahkan yang lebih manis telah jatuh,
beserta nyala daun-daunmu.
Untuk apa dosa-dosa,
o, pohon-pohon kurma Samawah?
Dulu aku seperti seekor kuda betina berkepala keras.
Aku tak tersandung.
ataukah dulu aku mudah menundukkan
kepemilikan kebanggaan pohon-pohon kurma,
dari keramahtamahan abadi tanah tumpah darahku.
Aku lebih bangga menderita kelaparan, dibandingkan membungkuk
menentang, seperti pohon kurma.
Alas! Tuntunlah, aku adalah hari untuk melupakan kebanggaanku
ketika pemanduku sendiri menyesatkanku
Lihat! kini aku menengadahkan tanganku meminta-minta para derma,
yang dibagikan oleh tangan-tangan yang sama-sama menghancurkan peradaban.

Diterjemahkan oleh Achmad Aef dari versi bahasa Inggris Tears on a Sad Iraqi Face yang diterjemahkan dari versi Arab oleh Salih J. Altoma.

Engkaulah Penyebabnya-Shalâh ‘Abd al-Shabûr

ENGKAULAH PENYEBABNYA
DUHAI KEKASIHKU

Cintaku…
Ketika hati berdetak karena cinta
Akal ini tergelincir dalam nafsu
Perasaan kacau, kata-kata penuh bimbang
Tatapan-tatapan kosong dalam jagad yang luas
Air mata mengalir dengan tanpa sebab
Seperti kesedihanku yang menimpaku dengan tanpa sebab
Seperti mimpi-mimpiku yang hancur dan berserak
Hingga nyala apinya padam
Tanpa sebab
Aku tak percaya ketika hati ini berdetak
Dan air mata mengalir di pipiku
Apa yang menggoncangkan jiwaku
Dan menggerakkan tulang rusukku
Ini kah denyut rasa sakit
Atau perih karena sayat luka
Dari susah payahnya hidup
Atau kah ini kegembiraan dan cinta
Di dasar lubuk hatiku angin berhembus
Dan kilat memancar
Wahai Tuhanku
Perasaan-perasaan aneh apa yang menimpaku
Mencengkeram di hati yang bercinta
Seperti bah banjir yang mencerabut akar
Menyingkirkan batu-batu besar
Dan mengalir ke muara
Tetapi, wahai cintaku…
Meski cinta yang membakar jiwa penuh dengan api
Dan meski kelenjar air mataku yang mendidih
Dan kesedihanku yang menimpaku tanpa sebab
Engkau tetap membekaskan cinta
Engkaulah penyebabnya
Engkaulah penyebabnya

Diterjemahkan oleh Achmad Aef dari versi Arabnya.

Tentang Penyair
Shalâh ‘Abd ash-Shabûr lahir di sebuah desa yang terletak sebelah timur Delta Nil pada tahun 1931. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menegahnya di sekolah negeri Mesir. Kemudian melanjutkan ke Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Fuad I (sekarang Universitas Kairo). Di universitas tersebut dirinya belajar kepada Syekh Amîn al-Khûlî yang kemudian mengantarkannya ke Jamâ’ah al-Amnâ’ dan kemudian ke al-Jam’iyyah al-Adabiyyah. Kedua kelompok itu memiliki pengaruh besar terhadap gerakan kreasi sastra dan kritik di Mesir. Ia adalah salah satu pioner pendobrak dalam gerakan puisi bebas Arab, sebagaimana ia juga salah satu penyair Arab minoritas yang turut berperan dalam penyusunan naskah drama.
Referensi-referensi yang memengaruhi dan mewarnai kreatifitas ash-Shabûr sangat beragam, yaitu mulai dari puisi-puisi orang pinggiran sampai puisi hikmah, pemikiran beberapa pembesar kaum sufi seperti al-Hallâj, dan Basyar al-Hâfî yang ia poleskan pada sebagian puisi dan naskah dramanya. Selain itu, belajar mengambil manfaat dari para penyair Perancis dan Jerman yang cenderung pada puisi-puisi simbolis, seperti Baudelaire, serta para penyair Inggris dengan puisi filsafatnya seperti John Don, John Keats, Eliot, dan lainnya. Ia juga tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk mempelajari warisan filsafat India ketika menjadi pembina kebudayaan pada kedutaan di India.

(Sumber: Achmad Atho’illah, Leksikon Sastrawan Arab Modern: Biografi &Karyanya, Yogyakarta: Datamedia, 2007)

The Ziggurat Builders-Sargon Boulus

PARA PEMBANGUN ZIGGURAT
(Sargon Boulus)

Mereka adalah
para pemimpi yang pertama
yang telah membubuhkan bentuk
sebuah mimpi di lempengan tanah liat:
Sebuah ruangan tempat para pendoa
yang akan menimbang
kemuliaan.

Mereka tahu:
orang asing pernah
melintas di antaranya,
dan kemudian menghilang.
Tempat teduhnya
akan ditebus
dalam wujud
sebuah ziggurat –
kapal para dewa
yang pemimpin bonekanya
kan memecah awan.

Dan mendengar:
Ini adalah bahtera waktu,
di pantainya
dari waktu ke waktu,
kita mungkin memandang sepintas
sebuah gambar seorang leluhur
berkulit putih
yang akan memberi isyarat pada kita
lintasan seribu tahun
dan menantikan kapalnya.

Diterjemahkan oleh Achmad Aef dari versi bahasa Inggris The Ziggurat Builders yang diterjemahkan dari versi Arabnya oleh penyairnya sendiri.

TENTANG PENYAIR
Sargon Boulus lahir di dekat danau al-Habâniyah yang terletak di wilayah Kirkûk, Irak pada tahun 1924 dari keluarga berkebangsaan Syria. Ia adalah seorang penyair, cerpenis, dan juga penerjemah yang berdomisili di San Fransisco. Karyanya banyak dimuat pada sejumlah majalah dan surat kabar Irak dan Arab. Boulus mulai mempublikasikan karya puisi dan cerpennya pada tahun 1961 dan turut memberikan kontribusi pada majalah Syi’r yang dipelopori oleh Yûsuf al-Khâl dan Adonis di Beirut.Boulus pernah bekerja di Beirut pada divisi tarjamah. Pada tahun 1969, ia pergi ke Amerika yang kemudian menerbitkan majalah Dajlah dalam bahasa Inggris. Melalui puisinya, Boulus cukup memberikan warna dan pengaruh besar terhadap para penyair muda generasi modern saat ini. Bersama-sama dengan Fâdhil al-‘Azâwî, Muayyad ar-Râwî, Shalâh Fâ’iq, dan Jân Dammo, ia mendirikan Jamâ’ah Kirkûk.Puisi dan karya terjemahan Boulus sudah mulai muncul di sejumlah majalah dan media massa Arab. Sampai saat ini, ia telah menerbitkan 6 buah antologi puisi. Dirinya dikenal sebagai penerjemah Arab yang handal untuk pengalihan bahasa puisi-puisi Inggris dan Amerika seperti karya-karya Ezra Pound, W. H. Auden, W. S. Merwin, Shakespeare, Shelley, William Carlos Williams, Allen Ginsberg, Ted Hughes, Sylvia Plath, Robert Duncan, John Ashbury, Robert Bly, Anne Sexton, John Logan, dan juga sejumlah penyair lain seperti Rilke, Neruda, Vasko Popa, dan Ho Chi Min.

(Sumber: Achmad Atho’illah. Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi & Karyanya). Yogyakarta: Datamedia bekerjasama dengan al-Mu’allaqât Centre, 2007)

MESKI MUSIM GUGUR-Arif Khudhairi

MESKI MUSIM GUGUR
(Arif Khudhairi)

Di musim panas
Di dekat anak sungai
Yang mungil… yang kecil…
Kami berjalan, sementara pagi
Begitu indah bak purnama bersinar di angkasa
Mentari pun memenuhi bumi dengan cahaya
Yang memancar seindah emas
Dan ketika aku memandangmu
Aku melihat
Air mata di pelupuk matamu
Mengucur seperti hujan
Dalam keheningan

diterjemahkan oleh
Achmad Aef
(anggota the Muallaqat Forum of Jogjakarta Indonesia)

AKU BERKATA PADA MU-Adonis

AKU BERKATA PADA MU
(Adonis)

Aku berkata padamu:
Aku telah mendengarkan laut
membacakan sajak-sajaknya untuk ku
Aku mendengarkan lonceng-lonceng
tidur nyenyak dalam kulit tiram.
Aku berkata padamu:
Aku menyenandungkan laguku
pada perkawinan setan
dan pesta dongeng.
Aku berkata padamu:
Aku memandang,
di tengah hujan sejarah
dan cahaya antara
peri dan kediaman.
Karna aku berlayar di mataku,
Aku berkata padamu, aku memandang
segalanya
dalam jarak langkah pertama.

translated
by Achmad Aef

Sinbad-Shalâh ‘Abd al-Shabûr

Di antara penyair Arab modern yang menggubah puisinya dalam bentuk puisi bebas adalah Shalâh ‘Abd al-Shabûr. Ia adalah salah satu pioner pendobrak dalam gerakan puisi bebas Arab. Referensi-referensi yang mempengaruhi dan mewarnai kreatifitas al-Shabûr sangat beragam, yaitu mulai dari puisi-puisi orang pinggiran sampai puisi hikmah, pemikiran-pemikiran beberapa pembesar kaum sufi seperti al-Hallâj, dan Basyar al-Hâfî yang ia poleskan di sebagian puisi dan naskah dramanya. Selain itu ia juga tidak segan-segan mengambil pemikiran dari para penyair Perancis dan Jerman yang cenderung pada puisi-puisi simbolis, seperti Baudelaire, serta para penyair Inggris dengan puisi filsafatnya seperti John Don, John Keats, Eliot, dsb Selain itu ia juga pernah mempelajari warisan filsafat India. Selama masa hidupnya al-Shabûr sudah menghasilkan antologi puisi sebanyak 16 antologi.


SINBAD


Dalam remang senja, bantal itu berselimutkan dedaunan
Seperti wajah bangkai tikus berkafan mantra
Dan kening itu berpeluh keringat
Sementara halimun merengkuh octopus
Di remang senja Sinbad kembali
Tuk melabuhkan kapalnya
Di pagi buta para peminum membaur di kedai minum
Untuk mendengarkan hikayat pengembaraan di samudra lepas
Sinbad:
Jangan pernah kau bercerita kepada mereka tentang aral rintangan
Jika kau katakan kepada mereka yang sadar: aku ini mabuk
Maka ia pasti akan berkata: Bagaimana ini?
Sinbad laksana badai, jika ia diam ia mati.
Para peminum:
Sinbad, ini tidak mungkin bagi kami untuk menjelajahi negeri ini
Sementara kami di sini berbaring bersama para wanita
Menanam pohon-pohon anggur
Memeras arak untuk musim dingin
Dan membaca buku di pagi dan senja hari
Ketika kami kembali dengan membawa musuh di kedai minum
Kamu akan bercerita kepada kami hikayat pengembaraan di samudra lepas.

Diterjemahkan oleh Achmad Aef dari judul aslinya as-Sinbad

Still Life-Sa'di Yusuf

LUKISAN BENDA MATI
(Sa’di Yusuf)

Tanaman rumah itu
melentur di bawah padatnya udara
Di atas meja
Di antara asbak yang muntah dan sekantong tembakau
terserak lembaran-lembaran rekening gas dan listrik,
Kapal itu berlayar di dinding
Burung itu mematuk-matuk kepala sang biduan
(Sebuah cover CD)
Aku menggelisahkan ruangku,
yang kini menjadi sempit.
Kapal itu menghilang
Malam duduk di sudut itu
diselimuti udara yang begitu tebal.

Diterjemahkan oleh Achmad Aef dari versi bahasa Inggris Still Life yang diterjemahkan dari versi Arabnya oleh penyairnya sendiri.

TARIAN FLAMENKO -Arif Khudhairi

TARIAN FLAMENKO
(Arif Khudhairi)


Menari, dan menarilah!
Jangan pernah terhenti.
Engkau telah terlahir
Untuk Tarian Gipsi mu
Yang dahsyat
Dengan gaya
Dengan pesona
Dengan keriangan
Di bawah cahaya
Gemintang
Di bawah sinar
Mentari.
Menari, dan menarilah!
Jangan pernah terhenti
Malam ini
Untuk kita
Di sini bersama mu.
Julurkan leher
Angsa mu
Naikkan lengan mu
Angkat kepala mu
Putar ke kanan
Melingkar ke kiri
Hentaklah tanah
Dengan kaki mu
Tuk ikuti irama
gitar.
Tunjukkan kemolekan mu
Dengan langkah gesit.
Goyangkan tubuh mu
Dengan kekuatan
Dengan keriangan.
Dengan kepuasan
Lepaskan pandangan mata mu
Yang tajam menggoda
Kirimkan api
Kepada dada
Dengan mata Spanyol mu
Yang lebar
Dengan anting emas mu
Yang melingkar
Curilah mentari
Dengan gelombang pasang mu
Yang tiap malam
Berderu bergulung.
Engkau lembut
Berbahu bak putih susu
Dengan buah dada mu
Yang telanjang bulat
Yang kecil?
Puting susu cokelat
Terlihat seperti
Anggur hutan
Yang bergelantungan.
Engkau seperti sutera
Dengan blus merah
Dengan bibir
Dan pipi
Seperti anggur merah
Seperti bunga tulip
Menari, dan menarilah!
Tarian Andalusia
Dengan mata berbinar,
Membakar
Tangan bertepuk
Dalam keriangan
Menari, dan merailah!
Gerakkan tanganmu
Goyangkan pinggulmu
Jangan pernah terhenti
Engkau erotis
Tarian Gipsi
Engkau terlahir
Untuk Flamenko
Dan malam ini
Untuk kita
Di sini bersamamu mu

diterjemahkan oleh
Achmad Aef
(anggota the Muallaqat Forum of Jogjakarta Indonesia)

Hadzâ as-Sayyid al-Amrîkî -Sargon Boulus

Tuan Amerika
(Sargon Boulus)


Kematian
Ini lah seorang tuan
dari Amerika
Datang untuk minum
dari sungai Tigris
Hingga sungai Eufrat

Kematian
Ini lah seorang tuan yang kehausan
kan meminum setiap minyak yang ada di sumur kami
dan setiap air
yang ada di sungai-sungai kami

Kematian
Ini lah seorang tuan yang kelaparan
kan memakan anak-anak kami dengan beribu-ribu
beribu-ribu setelah beribu-ribu
setelah beribu-ribu

Ini lah seorang tuan
datang dari Amerika
untuk meminum darah
dari sungai Tigris
dan dari sungai Eufrat


Judul asli: Hadzâ as-Sayyid al-Amrîkî
Diterjemahkan oleh Achmad Aef (penggiat the Muallaqat Forum Jogjakarta)


TENTANG PENYAIR

Sargon Boulus lahir di dekat danau al-Habâniyah yang terletak di wilayah Kirkûk, Irak pada tahun 1924 dari keluarga berkebangsaan Syria. Ia adalah seorang penyair, cerpenis, dan juga penerjemah yang berdomisili di San Fransisco. Karyanya banyak dimuat pada sejumlah majalah dan surat kabar Irak dan Arab. Boulus mulai mempublikasikan karya puisi dan cerpennya pada tahun 1961 dan turut memberikan kontribusi pada majalah Syi’r yang dipelopori oleh Yûsuf al-Khâl dan Adonis di Beirut.
Boulus pernah bekerja di Beirut pada divisi tarjamah. Pada tahun 1969, ia pergi ke Amerika yang kemudian menerbitkan majalah Dajlah dalam bahasa Inggris. Melalui puisinya, Boulus cukup memberikan warna dan pengaruh besar terhadap para penyair muda generasi modern saat ini. Bersama-sama dengan Fâdhil al-‘Azâwî, Muayyad ar-Râwî, Shalâh Fâ’iq, dan Jân Dammo, ia mendirikan Jamâ’ah Kirkûk.
Puisi dan karya terjemahan Boulus sudah mulai muncul di sejumlah majalah dan media massa Arab. Sampai saat ini, ia telah menerbitkan 6 buah antologi puisi. Dirinya dikenal sebagai penerjemah Arab yang handal untuk pengalihan bahasa puisi-puisi Inggris dan Amerika seperti karya-karya Ezra Pound, W. H. Auden, W. S. Merwin, Shakespeare, Shelley, William Carlos Williams, Allen Ginsberg, Ted Hughes, Sylvia Plath, Robert Duncan, John Ashbury, Robert Bly, Anne Sexton, John Logan, dan juga sejumlah penyair lain seperti Rilke, Neruda, Vasko Popa, dan Ho Chi Min.

(Sumber: Achmad Atho’illah. Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi & Karyanya). Yogyakarta: Datamedia bekerjasama dengan al-Mu’allaqât Centre, 2007)

Unsyûdah al-Mathar-Badr Syakir as-Sayyab

NYANYIAN HUJAN
(Badr Syâkir as-Sayyâb)


Dua matamu adalah dua rumpun pohon kurma di fajar buta
Atau dua beranda yang darinya rembulan surut.tenggelam
Ketika tersenyum, Dua matamu bagai pohon-pohon anggur yang bersemi
Dan cahaya berdansa seperti rembulan dalam sungai
Yang digoncang oleh dayung di fajar buta..
Seolah, dalam kedalamannya, bintang-bintang berdegub

Mereka tenggelam di awan tebal dari kesedihan yang dalam
Seperti lautan di mana sore senja melepaskan dua tangan di atasnya.
Hangat musim dingin dan diikuti gigil musim gugur,
Kematian, kelahiran, kegelapan dan cahaya.
Isak tangis kembali meronta di sepenuh jiwaku
Sorah liar memeluk angkasa
Seperti hiruk pikuk anak kecil terkejut takut oleh rembulan.

Seolah busur awan menenggak halimun/kabut..
Dan tetes demi tetes meleleh dalam hujan..
Anak-anak kecil melepas tawa di bawah terali rambatan pohon anggur
Dan nyanyian hujan
Menggelitik ketenangan burung-burung di atas pohon
Hujan
Hujan
Hujan
Senja menguap, dan arak mendung
Masih deras mengucurkan air mata beratnya
Seperti anak kecil menyeloteh sebelum tidur di malam gelap
Tentang ibunya – yang tak ditemukannya saat terbangun setahun yang lalu, Kemudian ketika ia masih bertanya terus, mereka menjawab: “Esok lusa ibumu akan kembali-”
Dan ia harus kembali
Namun kawan-kawannya berbisik, ibunya ada
Di lereng bukit sedang tergolek di pusara
Menelan debunya dan menenggak air hujan;
Bak nelayan yang sedih memungut jala-jalanya
Sembari mengutuk air dan takdir
Lalu menaburkan nyanyian di mana bulan tenggelam.
Hujan, Hujan..
Tahukah engkau kesedihan apa yang dikirim oleh hujan?
Dan bagaimana talang terisak kala hujan mengucur?
Dan bagaimana orang yang sendirian merasakan kehilangan di dalamnya?
Hujan turun tak henti: seperti darah yang tertumpah,
Seperti kelaparan, cinta, anak kecil, dan mayat-
Itulah hujan
Kedua matamu datang seperti khayalan bersama hujan,
Dan di tepi ombak teluk, kilat mengusap
Di pantai-pantai Irak
Bersama gemintang dan kulit-kulit kerang
Seolah mereka hendak bercahaya
Namun malam menyelimutinya dengan kemul darah

Aku berteriak memanggil teluk, "Wahai teluk,
Wahai pemberi mutiara, kulit-kulit kerang dan mayat kematian!"
Lalu suara itu menggema seperti membunyikan:
"Wahai teluk: Wahai pemberi kulit-kulit kerang dan mayat kematian"

Hampir-hampir aku mendengar Irak menyimpan halilintar
Dan menimbun kilat di bukit dan dataran
Hingga ketika orang-orang membuka tutupnya
Angin-angin tak kan membiarkan kaum Tsamud
Satu jejak pun di lembah itu
Hampir saja aku mendengar pohon-pohon kurma menenggak air hujan
Dan mendengar perkampungan merintih, dan para pelancong
Bergulat dengan dayung dan layar
Melawan badai dan guruh teluk, sembari mereka bernyanyi:
”Hujan . . . Hujan . . . Hujan
Dan di Irak ada kelaparan!
Musim paling subur menyebar hasil panennya
Hingga burung-burung gagak dan belalang kekenyangan karenanya
Lumbung-lumbung dan bebatuan menumbuk tak hentinya
Dan mesin-mesin penggiling terus berputar di ladang-ladang... dijalankan
banyak orang
Hujan . . .
Hujan . . .
Hujan . . .
Betapa sering air mata kita tumpahkan, di malam keberangkatan,
Lalu hujan kita buat alasan –karena takut dikecam-
Hujan
Hujan
Sejak kita kecil, langit
Mendung berawan di musim dingin,
Dan hujan turun dengan lebatnya,
Namun setiap tahun –kala tanah yang basah tumbuh bersemi- kita justru kelaparan.
Tak satu tahun pun beralu tanpa Irak mengalami kelaparan.
Hujan
Hujan
Hujan
Di setiap tetes air hujan
Ada sekuncup merah atau kuning kembang,
Setiap tetes darah orang-orang yang kelaparan dan telanjang
Dan setiap tetes darah yang mengucur dari hamba sahaya
Adalah senyuman dalam sebuah penantian bibir-bibir baru
atau puting susu merah mawar di mulut bayi
di alam muda esok hari yang memberi kehidupan
Hujan
Hujan
Hujan
Irak akan tumbuh bersama hujan”

Aku berteriak memanggil teluk, "Wahai teluk,
Wahai pemberi mutiara, kulit-kulit kerang dan mayat kematian"
Lalu suara itu menggema seperti membunyikan:
"Wahai teluk: Wahai pemberi kulit-kulit kerang dan mayat kematian"

Dari pemberiannya yang tak terbilang teluk menaburkan di atas pasir: buih asin, kulit kerang,
Dan sisa tulang-tulang sial dari para pendatang malang yang tenggelam dan mayatnya menenggak air dari teluk dan dasarnya,
Sementara di Irak seribu ular menikmati minuman lezat
Dari sekuntum bunga yang diharumkan oleh sungai Euphrat bersama embun
Aku mendengar gema
Menggaung di teluk itu:
”Hujan
Hujan
Hujan
Di setiap tetes air hujan
Ada sekuncup merah atau kuning kembang,
Setiap tetes darah orang-orang yang kelaparan dan telanjang mengalir
Dan setiap tetes darah yang mengucur dari hamba sahaya
Adalah senyuman dalam sebuah penantian bibir-bibir baru
atau puting susu merah mawar di mulut bayi
di alam muda esok hari yang memberi kehidupan”

Dan hujan pun turun lebat

Judul asli: Unsyûdah al-Mathar
Diterjemahkan oleh Achmad Aef (penggiat the Muallaqat Forum Jogjakarta)

TENTANG PENYAIR

Badr Syâkir as-Sayyâb lahir di desa Jîkûr sekitar sungai Efret dekat kota Basrah sebelah selatan Irak pada tahun 1926. Keluarga as-Sayyâb adalah keluarga muslim sunni. Daerah itu kebanyakan berpenghasilan dari ladang kurma. Meskipun demikian, mereka hidup layak.
As-Sayyâb masuk dunia pendidikan pertama kali di sekolah dasar yang bernama Bâb Sulaimân. Kemudian dirinya pindah ke sekolah dasar al-Mahmûdiyyah yang didirikan oleh Mahmûd Pasya tahun 1910 pada masa Dinasti Ustmanî. Meyelesaikan studinya di sekolah dasar pada tanggal 1 Oktober 1938 dan perguruan tingginya ditempuh pada Universitas Dâr al-Mu’allimîn di Bagdad.
Karir as-Sayyâb pertama kali di dunia politik. Hal itulah yang menyebabkan dirinya mengalami banyak penderitaan. Keluar-masuk penjara, disingkirkan dari pekerjaannya, dan bahkan dibuang ke luar negeri adalah hal biasa baginya. Sekitar tahun 50-an Irak menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur sehingga menyebarkan paham nasionalisme yang menggebu-gebu.
Puisi karya as-Sayyâb banyak membuat pembaharuan yang cukup mengejutkan masyarakat. Puisi-puisinya banyak beraliran futuristik yang banyak menyelipkan ayat al-Qur'an ke dalamnya. Selain itu, rima, simbolisme, gaya puisinya saat dibaca disertai nada musik, irama, dan kata-kata al-Qur'an yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh dan peristiwa dalam al-Qur'an dan tradisi Islam diartikulasikan dan diaktualisasikan kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain.
As-Sayyâb adalah salah satu pelopor dalam pembaharuan puisi. Ia bersikap terbuka terhadap pengaruh puisi-puisi Eropa modern. Puisinya memiliki ciri khas dengan ungkapan perasaan yang indah dan mendalam. Penggambaran dalam puisinya pun memukau, sebab memadukan antara bahasa dengan visi dan refleksi. Dalam puisinya, ia juga mampu menyelaraskan antara keindahan musikalitas dan ketajaman perasaan (makna).
Puisi-puisi as-Sayyâb banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah, tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa. Tidak sedikit kalangan kritikus sastra Arab menyoroti puisi-puisinya dalam beberapa karya antologinya yang tebal. Hasil kritik itu diterbitkan bersamaan dengan munculnya buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Karya puisinya sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok Apollo dan Mahjar yang lebih romantik -barangkali termasuk juga pengaruh Shelley dan Keats– tetapi ada juga yang membandingkannya dengan Eliot.
Ia meninggal pada tanggal 24 Desember 1964 karena mengidap penyakit paru-paru di Rumah Sakit Amerika yang ada di Kuwait.


(Sumber: Achmad Atho’illah. Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi & Karyanya). Yogyakarta: Datamedia bekerjasama dengan al-Mu’allaqât Centre, 2007)

Anâ-Nâzik al-Malâ’ikah

AKU
(Nâzik al-Malâ’ikah)

Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya yang penuh gundah nan kelam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Kuselimuti hakekat diriku dengan ketenangan
Dan kusulut hatiku dengan keraguan
Aku pun menetap di sini dengan kesuraman
Aku menerawang sementara abad-abad bertanya padaku
Siapa aku?

Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang kebingungan diingkari zaman
Aku seperti dia tak pernah diam
Terus mengembara tak ada ujungnya
Terus melangkah tak ada hentinya
Tatkala kami sampai di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Maka tak lain itu hanyalah sebuah kekosongan

Zaman bertanya siapa aku
Aku seperti dia, raksasa yang memeluk abad-abad
Dan kembali membangkitkannya
Aku menciptakan masa lalu yang silam
Dari pesona harapan yang menawan
Dan kembali menguburkannya
Agar dapat kujadikan tuk diriku hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya yang beku

Aku bertanya siapa aku
Aku seperti dia bingung menatap dalam kegelapan
Tak ada sesuatupun yang memberiku ketenangan
Aku terus bertanya dan jawabnya
Akan senantiasa diselubungi oleh fatamorgana
Aku terus mengira jawaban itu datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang dan lenyap.
(1948)

Judul asli: Anâ
Diterjemahkan oleh Achmad Aef dan telah dibacakan di forum the Muallaqat Forum of Jogjakarta Indonesia pada tanggal 25 Maret 2007 di Gazebo Café.

TENTANG PENYAIR

Nâzik al-Malâikah memiliki nama lengkap Nâzik Shâdiq Ja’far al-Malâikah yang lahir pada tanggal 23 Agustus 1923 di Bagdad. Ia tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu dan sastra. Ibunya, Salma Abd al-Razâq, adalah seorang penyair yang memiliki antologi puisi أنشودة المجد, sedangkan bapaknya selain seorang penyair juga seorang guru bahasa dan sastra Arab. Sehingga tidak heran jika ia sudah mulai menyentuh sastra klasik dari kecil. Ia menguasai ilmu nahwu, membaca dan mempelajari sumber-sumber warisan bangsa Arab, baik bidang bahasa maupun sastra. Dirinya sangat antusias dalam belajar hingga ia membaca buku البيان والتبيين yang ditulis oleh al-Jâhizh hanya dalam waktu delapan hari, sementara pada saat itu kondisi matanya sudah tidak membaik. Dirinya sangat merasakan ketakutan ketika ia tidak membaca buku selama delapan jam dalam satu hari.
Penddikan Nâzik al-Malâikah ditempuh pada Fakultas Tarbiyyah dan selesai dengan gelar kesarjanaannya pada tahun 1944. Selelah itu ia melanjutkan ke jenjang magister di Amerika Serikat yang selesai pada tahun 1950 dengan fokus studi sastra bandingan. Sebagai seorang sastrawati, Nâzik al-Malâikah termasuk pembaharu pertama dalam puisi Arab modern dengan memunculkan puisinya الكوليرا pada tahun 1947. Puisi ini muncul bersamaan dengan puisinya Badr Syâkir as-Sayyâb yang berjudul هل كان حبا. Sehingga kedua puisi tersebut dianggap sebagai pendobrak pertama gerakan pembaharuan dalam puisi Arab modern atau yang lebih dikenal dengan puisi bebas (al-Syi’r al-Hurr).
Nâzik al-Malâikah sungguh-sungguh dalam mempelajari bermacam-macam bahasa, seperti; Inggris, Perancis, Jerman, dan Latin. Pada tahun 1954, ia datang yang kedua kalinya ke Amerika Serikat untuk menempuh studi doktoralnya sebagai utusan dari Universitas Irak. Sekembalinya ke Irak, pada tahun 1957, ia menjadi dosen bantuan pada Fakultas Tarbiyah. Setelah itu, dirinya pindah ke Universitas Basrah.
Antara tahun 1959-1960, Nâzik al-Malâikah meninggalkan Irak dan menetap di Beirut. Di tempat ini ia meluncurkan karya-karya puisi dan juga kritiknya. Kemudian kembali lagi ke Irak untuk mengajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Basrah. Pada tahun 1964, ia diperistri oleh Dr. ’Abd al-Hâdî Mahbûbah, Rektor Universitas Basrah.
Ia pernah melakukan perjalan ke Kuwait bersama sang suami dan menjadi tenaga pengajar di Universitas Kuwait. Pada tahun 1985, universitas tersebut memberikannya sebuah tanda mata untuk bantuan pengobatannya setelah penyakitnya semakin parah. Dari Kuwait, ia langsung kembali ke Irak dan dari sana ia kemudian terbang ke Kairo untuk menjalani pengobatan medis karena minimnya obat di Irak sebagai dampak dari blokade Amerika. Setelah itu, ia bersama dengan suami dan anak satu-satunya Dr. Barâq akhirnya memutuskan untuk menetap di sana untuk selamanya.
Sepeninggalan suaminya pada tahun 2001, Nâzik al-Malâikah hidup dalam kegoncangan dan ketidaktentuan. Sampai-sampai sebagian surat kabar ada memberitakan tentang kematiannya meski ia masih hidup. Ia telah memperoleh beberapa penghargaan atas prestasinya. Puisi terakhir yang ia tulis adalah puisi yang berjudul أنا وحدي yang merupakan puisi duka atas kepergian sang suami Dr. Mahbûbah.
Setelah larut dalam kesendiriannya selama bertahun-tahun, akhirnya Nâzik harus benar-benar menemui ajalnya pada tanggal 20 Juni 2007 di usianya yang ke-84 tahun. Jauh dari air mata kekerasan yang mengoyak negerinya, Nâzik dimakamkan pada sebuah pemakaman keluarga di Kairo. Sebelum dimakamkan, jenazah Nâzik yang diselimuti oleh helaian kain berwarna hitam, merah, hijau, dan putih sebagai lambang bendera Irak, diistirahkan sejenak di sebuah masjid di Kairo, Sarraya al-Quba, yang berada di sekitar tempat tinggalnya selama di pengasingan sejak 1990. Dalam acara pemakamannya tersebut, seorang imam berkebangsaan Mesir, Syekh Kishk, turut memimpin doa. Presiden Irak Jalal at-Talabani juga turut berkabung sehari setelah wafatnya (Voices of Iraq (VOI), 21 Juni 2007).


(Sumber: Achmad Atho’illah. Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi & Karyanya). Yogyakarta: Datamedia bekerjasama dengan al-Mu’allaqât Centre, 2007)