Sunday 3 August 2008

Anâ-Nâzik al-Malâ’ikah

AKU
(Nâzik al-Malâ’ikah)

Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya yang penuh gundah nan kelam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Kuselimuti hakekat diriku dengan ketenangan
Dan kusulut hatiku dengan keraguan
Aku pun menetap di sini dengan kesuraman
Aku menerawang sementara abad-abad bertanya padaku
Siapa aku?

Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang kebingungan diingkari zaman
Aku seperti dia tak pernah diam
Terus mengembara tak ada ujungnya
Terus melangkah tak ada hentinya
Tatkala kami sampai di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Maka tak lain itu hanyalah sebuah kekosongan

Zaman bertanya siapa aku
Aku seperti dia, raksasa yang memeluk abad-abad
Dan kembali membangkitkannya
Aku menciptakan masa lalu yang silam
Dari pesona harapan yang menawan
Dan kembali menguburkannya
Agar dapat kujadikan tuk diriku hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya yang beku

Aku bertanya siapa aku
Aku seperti dia bingung menatap dalam kegelapan
Tak ada sesuatupun yang memberiku ketenangan
Aku terus bertanya dan jawabnya
Akan senantiasa diselubungi oleh fatamorgana
Aku terus mengira jawaban itu datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang dan lenyap.
(1948)

Judul asli: Anâ
Diterjemahkan oleh Achmad Aef dan telah dibacakan di forum the Muallaqat Forum of Jogjakarta Indonesia pada tanggal 25 Maret 2007 di Gazebo Café.

TENTANG PENYAIR

Nâzik al-Malâikah memiliki nama lengkap Nâzik Shâdiq Ja’far al-Malâikah yang lahir pada tanggal 23 Agustus 1923 di Bagdad. Ia tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu dan sastra. Ibunya, Salma Abd al-Razâq, adalah seorang penyair yang memiliki antologi puisi أنشودة المجد, sedangkan bapaknya selain seorang penyair juga seorang guru bahasa dan sastra Arab. Sehingga tidak heran jika ia sudah mulai menyentuh sastra klasik dari kecil. Ia menguasai ilmu nahwu, membaca dan mempelajari sumber-sumber warisan bangsa Arab, baik bidang bahasa maupun sastra. Dirinya sangat antusias dalam belajar hingga ia membaca buku البيان والتبيين yang ditulis oleh al-Jâhizh hanya dalam waktu delapan hari, sementara pada saat itu kondisi matanya sudah tidak membaik. Dirinya sangat merasakan ketakutan ketika ia tidak membaca buku selama delapan jam dalam satu hari.
Penddikan Nâzik al-Malâikah ditempuh pada Fakultas Tarbiyyah dan selesai dengan gelar kesarjanaannya pada tahun 1944. Selelah itu ia melanjutkan ke jenjang magister di Amerika Serikat yang selesai pada tahun 1950 dengan fokus studi sastra bandingan. Sebagai seorang sastrawati, Nâzik al-Malâikah termasuk pembaharu pertama dalam puisi Arab modern dengan memunculkan puisinya الكوليرا pada tahun 1947. Puisi ini muncul bersamaan dengan puisinya Badr Syâkir as-Sayyâb yang berjudul هل كان حبا. Sehingga kedua puisi tersebut dianggap sebagai pendobrak pertama gerakan pembaharuan dalam puisi Arab modern atau yang lebih dikenal dengan puisi bebas (al-Syi’r al-Hurr).
Nâzik al-Malâikah sungguh-sungguh dalam mempelajari bermacam-macam bahasa, seperti; Inggris, Perancis, Jerman, dan Latin. Pada tahun 1954, ia datang yang kedua kalinya ke Amerika Serikat untuk menempuh studi doktoralnya sebagai utusan dari Universitas Irak. Sekembalinya ke Irak, pada tahun 1957, ia menjadi dosen bantuan pada Fakultas Tarbiyah. Setelah itu, dirinya pindah ke Universitas Basrah.
Antara tahun 1959-1960, Nâzik al-Malâikah meninggalkan Irak dan menetap di Beirut. Di tempat ini ia meluncurkan karya-karya puisi dan juga kritiknya. Kemudian kembali lagi ke Irak untuk mengajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Basrah. Pada tahun 1964, ia diperistri oleh Dr. ’Abd al-Hâdî Mahbûbah, Rektor Universitas Basrah.
Ia pernah melakukan perjalan ke Kuwait bersama sang suami dan menjadi tenaga pengajar di Universitas Kuwait. Pada tahun 1985, universitas tersebut memberikannya sebuah tanda mata untuk bantuan pengobatannya setelah penyakitnya semakin parah. Dari Kuwait, ia langsung kembali ke Irak dan dari sana ia kemudian terbang ke Kairo untuk menjalani pengobatan medis karena minimnya obat di Irak sebagai dampak dari blokade Amerika. Setelah itu, ia bersama dengan suami dan anak satu-satunya Dr. Barâq akhirnya memutuskan untuk menetap di sana untuk selamanya.
Sepeninggalan suaminya pada tahun 2001, Nâzik al-Malâikah hidup dalam kegoncangan dan ketidaktentuan. Sampai-sampai sebagian surat kabar ada memberitakan tentang kematiannya meski ia masih hidup. Ia telah memperoleh beberapa penghargaan atas prestasinya. Puisi terakhir yang ia tulis adalah puisi yang berjudul أنا وحدي yang merupakan puisi duka atas kepergian sang suami Dr. Mahbûbah.
Setelah larut dalam kesendiriannya selama bertahun-tahun, akhirnya Nâzik harus benar-benar menemui ajalnya pada tanggal 20 Juni 2007 di usianya yang ke-84 tahun. Jauh dari air mata kekerasan yang mengoyak negerinya, Nâzik dimakamkan pada sebuah pemakaman keluarga di Kairo. Sebelum dimakamkan, jenazah Nâzik yang diselimuti oleh helaian kain berwarna hitam, merah, hijau, dan putih sebagai lambang bendera Irak, diistirahkan sejenak di sebuah masjid di Kairo, Sarraya al-Quba, yang berada di sekitar tempat tinggalnya selama di pengasingan sejak 1990. Dalam acara pemakamannya tersebut, seorang imam berkebangsaan Mesir, Syekh Kishk, turut memimpin doa. Presiden Irak Jalal at-Talabani juga turut berkabung sehari setelah wafatnya (Voices of Iraq (VOI), 21 Juni 2007).


(Sumber: Achmad Atho’illah. Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi & Karyanya). Yogyakarta: Datamedia bekerjasama dengan al-Mu’allaqât Centre, 2007)

No comments: